Senin, September 30

REVIEW : INSIDIOUS: CHAPTER 2



"How dare you!!!"

Dua tahun silam, Insidious hadir menyemarakkan bioskop Indonesia tatkala tengah dilanda paceklik film-film dari enam grup besar. Kala itu tak banyak harapan yang disematkan terhadap film ini sekalipun James Wan (dan rekannya Leigh Whannell) memiliki jejak rekam yang terbilang bagus dalam dunia film horor. Tapi apa yang kemudian terjadi, sama sekali di luar bayangan saya. Bisa-bisanya, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir saya keluar dari gedung bioskop dengan tubuh yang terkulai lemas. Suguhan yang tadinya dipandang sebelah mata, tak dinyana ternyata luar biasa ganas dalam membuat penonton ketakutan! Dengan cepat, word of mouth pun tersebar ke berbagai penjuru, berdampak pada meledaknya film berbiaya minim ini. Ketika torehan akhir melampaui prediksi siapapun, sekuel pun dipersiapkan. Berselang dua tahun dari jilid pembuka, Insidious: Chapter 2 menyapa penonton. Wan berniat untuk mengulang kembali kegemilangannya dalam membangkitkan bulu kuduk penonton. Akan tetapi, dengan formula yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya ditambah fakta teror The Conjuring masih belum luntur sepenuhnya dari ingatan, akankah Insidious: Chapter 2 sanggup meninggalkan kesan mendalam bagi para penonton, khususnya mereka yang jatuh hati dengan jilid awal? 

Penceritaan mengambil latar seusai peristiwa traumatis yang menimpa keluarga Lambert di film pertama. Kematian Elise (Lin Shaye) yang misterius menjadi sorotan pihak kepolisian dengan Josh (Patrick Wilson) ditempatkan sebagai tersangka. Di tengah-tengah penyelidikan, Renai (Rose Byrne) memboyong keluarganya untuk tinggal sementara bersama Lorraine (Barbara Hershey). Renai mengharapkan kehidupan keluarganya kembali normal seperti sedia kala terlebih dia mengira segala teror ini telah berakhir... meski kenyataannya tidak demikian. Mimpi buruk yang sempat menaunginya selama berbulan-bulan lamanya, ternyata belum bersedia untuk menjauh. Suara-suara misterius kembali hadir lengkap dengan kehadiran hantu-hantu berwujud The Dark Bride maupun wanita bergaun putih. Seolah mereka belum cukup mengganggu, Renai pun menyadari ada sesuatu yang aneh dalam diri Josh seolah itu bukan Josh yang selama ini dikenalnya. Aduh, dek. 

Tanpa banyak berbasa basi dan berceloteh panjang lebar, Wan langsung menggiring penonton ke inti permasalahan kala memulai Insidious: Chapter 2. Bubuhan flashbackpada permulaan film bakal menjadi kunci yang penting di menit-menit berikutnya. Selama 105 menit, mereka tidak lupa untuk bercerita ketimbang hanya menggeber adegan-adegan seram. Ini jelas efektif untuk membuat penonton terlibat lebih jauh dengan film. Dari sisi penceritaan, jilid kedua ini memang lebih menggempal dan berisi yang dimaksudkan sebagai upaya dari Wan serta Whannell untuk menjlenterehkan berbagai macam keganjilan yang melingkupi film sebelumnya. Apabila Anda sempat bertanya-tanya, “mengapa begini, mengapa begitu” kala menyimak Insidious, maka di sini duo maut ini menjawabnya untuk Anda. Pertanyaan demi pertanyaan lama terjawab yang lantas disambung dengan pertanyaan-pertanyaan baru lainnya. Ini mengasyikkan. Ada baiknya Anda yang sudah agak-agak lupa (atau malah sama sekali tidak tahu) dengan guliran konflik di film pertama untuk kembali menonton ulang karena yah... anda tidak mau tersesat, bukan? 

Dalam kaitannya dengan takut-menakuti, Insidious: Chapter 2 masih terbilang berhasil sekalipun mengalami sedikit penurunan dari film sebelumnya. Ketika film pertama nuansa Poltergeist terasa kental, maka di sini ada perpaduan antara The Shining dan Psycho. Untuk sekali lagi, Wan mengajak Anda untuk menyelami lorong-lorong suram dan lemari gelap misterius dengan penampakan dari setan-setan yang jumlahnya dilipatgandakan. Sinematografi jempolan dari John R. Leonetti dan iringan musik menghantui oleh Joseph Bishara sanggup menciptakan suasana tidak menyenangkan yang diharapkan oleh si pembuat film. Wan menjamin Anda untuk tidak bisa duduk dengan nyaman di kursi bioskop lantaran dibuat terlalu sibuk untuk terlonjak, berteriak, tertawa, mengumpat, atau bahkan bertepuk tangan saking kagetnya. Si pembuat film mencoba untuk meningkatkan level keseraman di sini dengan menyuntikkan dosis yang terbilang tinggi demi menciptakan jump scare yang tidak main-main. 

Hanya saja, jika dibandingkan dengan apa yang telah dicapai oleh Insidious maupunThe ConjuringInsidious: Chapter 2 bukanlah apa-apa. Tidak lantas menjadi buruk atau menjemukan, namun James Wan telah menerapkan standar yang kelewat tinggi untuk dirinya sendiri di dua film sebelumnya sehingga apa yang dilakukannya di sini terasa repetitif. Wan pun melakukan kesalahan dengan menggenjot teror habis-habisan di paruh awal serta asupan humor yang ditaburkan agak melebihi takaran sehingga tensi ketegangan tak mampu terjaga secara stabil dan cenderung kian menurun di menit-menit terakhir. Memang tidak berakhir kegagalan karena toh saya pun masih menikmati perjalanan bersama Wan dalam mengarungi dunia astral yang menyeramkan, namun ketimbang membuat saya merinding ketakutan disertai mimpi buruk seperti apa yang telah dilakukan oleh si predesesor, Insidious: Chapter 2 lebih sering hanya membuat saya terkaget-kaget dengan kemunculan tiba-tiba dari para peneror dan dentuman musiknya.

Acceptable

Tidak ada komentar: