Apa
revolusi yang paling menggemparkan dunia? Bukan revolusi Perancis,
revolusi Russia, revolusi Iran, apalagi revolusi industri. Ini
benar-benar sesuatu yang tidak biasa dan aneh. Revolusi kera. Nah lho,
bisa dibayangkan bagaimana kekacauan yang terjadi, bukan? Sekelompok
primata mengamuk, menghancurkan bangunan-bangunan di perkotaan dengan membabi buta menuntut kebebasan dan perlakuan yang layak terhadap manusia. Walaupun hanya terjadi di film Hollywood terbaru, namun tidak menutup
kemungkinan hal ini bisa terjadi di masa mendatang terutama ketika hari
kiamat telah mendekat. Revolusi kera ini terjadi dalam film garapan
Rupert Wyatt, Rise of the Planet of the Apes, yang merupakan film ketujuh dari franchise Apes. Mengingat Rise of the Planet of the Apes (selanjutnya akan saya sebut dengan ROTPOTA) adalah sebuah reboot, maka ROTPOTA tidak memiliki keterkaitan dengan Planet of the Apes garapan Tim Burton yang dikecam para kritikus tersebut. Apabila melihat dari sejarah franchise-nya, ROTPOTA sedikit banyak memiliki kemiripan alur dengan Conquest of the Planet of the Apes (1972). Menjadi semacam pertanda bahwa franchise ini akan kembali dilanjutkan.
Protagonis
kita adalah Will Rodman (James Franco), seorang ilmuwan yang tengah
melakukan eksperimen terhadap sejumlah simpanse demi menemukan cara
untuk mengobati penyakit Alzheimer. Gen-Sys, perusahaan tempat Will
bernaung, enggan memberikan
suntikan dana pada eksperimen ini setelah salah satu simpanse bernama
Bright Eyes mendadak menjadi liar dan membuat para investor merugi. Will
yang putus asa kemudian merawat anak Bright Eyes, Caesar (Andy Serkis),
seraya mencoba untuk menemukan
ramuan obat Alzheimer yang lebih pas. Caesar pun dijadikannya sebagai
kelinci percobaan. Tak dinyana, obat yang dikembangkan oleh Will ini
memberi dampak yang luar biasa kepada Caesar. Dia tidak lagi menjadi
simpanse biasa. Tingkah lakunya menyerupai manusia dan Caesar memahami
bahasa isyarat. Semakin hari, Caesar menjadi semakin cerdas dan cerdas. Melihat respon yang positif seperti ini, Will menjajalnya pada sang
ayah, Charles (John Lithgow) yang mengidap Alzheimer. Penyakitnya
seketika lenyap dalam semalam. Atasan Will, Steven (David Oyewolo), yang
semula mendepaknya langsung mengutusnya untuk mengembangkan obat ini.
Namun keserakahan para manusia yang bertindak seolah-olah sebagai Tuhan
ini akhirnya harus dibayar mahal. Caesar mulai memberontak dan kondisi
Charles justru kembali memburuk.
Setelah menyerang seorang pria yang memaki Charles, Caesar dikirim ke
semacam tempat penampungan hewan yang lebih mirip seperti
sebuah penjara. Dikomandoi oleh seseorang yang mirip Hannibal Lecter
dan hadirnya Draco Malfoy versi kucel, ini jelas bukan tempat yang tepat
bagi Caesar yang emosinya tengah labil.
Saya sama sekali tidak menduga ROTPOTA akan
menjadi sebuah sajian yang sangat memuaskan. Diremehkan oleh banyak
pihak ketika proyek ini pertama kali didengungkan, Rupert Wyatt sukses
membungkam siapa saja yang awalnya memandang film buatannya ini dengan
sebelah mata, termasuk saya. Saat materi promosinya dipublikasikan, ROTPOTA
sudah terlihat menjanjikan. Film ini langsung bercokol di urutan
pertama film yang paling saya nantikan kehadirannya di bulan Agustus
lalu. Setelah berminggu-minggu lamanya mengalami kegalauan
mengkhawatirkan ROTPOTA
yang mungkin saja tidak akan ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia,
minggu lalu saya bisa bernafas lega setelah 21 Cineplex dan Blitz
memberi lampu hijau untuk film ini. Penantian saya pun terbayar lunas.
Seperti halnya Star Trek garapan J.J. Abrams, ROTPOTA versi Wyatt ini telah membuat saya jatuh hati pada franchise Apes.
Sebelumnya, saya tidak tertarik sama sekali. Naskah racikan Rick Jaffa
dan Amanda Silver sebetulnya sederhana, akan tetapi penanganan Wyatt
yang tepat adalah kuncinya. Wyatt tidak memusingkan penontonnya dengan
istilah-istilah yang rumit agar ROTPOTA
bisa disebut sebagai film science fiction berkualitas tinggi. Alur
berjalan dengan menarik dan tidak bertele-tele. Saat Caesar berjuang
untuk mendapatkan kebebasannya, tensi meningkat. Pada titik ini yang
berkeliaran di pikiran saya adalah, “apakah ROTPOTA
bisa disebut sebagai film horror?” Penjara primata ini tidak hanya
menjadi momok bagi para primata, tetapi juga penonton. Kita turut
merasakan apa yang mereka rasakan. Saat revolusi mulai bergejolak, kita
dihadapkan pilihan antara membenarkan tindakan primata-primata ini atau
justru mengutuknya. Wyatt dan tim berada dalam posisi netral, tidak
membiarkan kita memihak salah satu pihak meski terkadang ada kalanya
penonton akan lebih memilih mendukung tindakan para primata.
Sanjungan
juga patut untuk dilayangkan kepada Andy Serkis dan CGI buatan WETA
yang memesona. Andy Serkis bisa dikatakan sebagai dewa penyelamat.
Departemen aktingnya sama sekali tidak istimewa. Cenderung datar malah.
James Franco bermain di zona yang terlalu aman, Freida Pinto terasa sama
sekali tidak penting dan duo Brian Cox plus Tom Felton tak ada bedanya
dengan villain di film sejenis yang sangat menyebalkan yang adegan
kematiannya dirancang untuk membuat penonton bersorak sorai. Beruntung,
Wyatt memiliki Serkis. Setelah bermain apik sebagai Gollum di trilogy The Lord of the Rings
dan menghidupkan kembali tokoh legendaris, King Kong, Serkis tampil
mengesankan sebagai Caesar. Dia adalah bintang sesungguhnya di ROTPOTA. Apakah penampilan briliannya disini sudah cukup untuk membuat Serkis mendapatkan piala Oscar? We’ll see. Special effect dalam ROTPOTA memang tidak semewah seperti apa yang ditunjukkan oleh Transformers 3,
namun tetap digarap rapi dan porsinya tidak berlebihan karena
difungsikan hanya sebagai penunjang, bukan sebagai kebutuhan utama.
Sesuatu yang sudah sangat jarang ditemukan dalam film-film berbujet
besar saat ini. Wyatt dan tim tidak manja. Sekalipun difasilitasi dengan
special effect yang canggih, naskah tetap diperhatikan dengan baik.
Dengan kepuasan tiada tara yang saya dapatkan seusai menonton film ini,
pantaslah rasanya saya menempatkan ROTPOTA ke dalam jajaran film terbaik tahun ini.
Exceeds Expectations
Tidak ada komentar:
Posting Komentar