"I thought we would be safe forever. But "forever" isn't as long as I'd hoped." - Bella
Tidak ada franchise yang beranjak dari novel berseri yang lebih fenomenal ketimbang The Twilight Saga.
Bagaimana tidak, dari sejumlah franchise yang mengambil sumber dari
karya sastra, hanya kisah percintaan terlarang antara manusia dan vampir
ini yang mampu mengumpulkan basis massa dan pembenci dalam jumlah yang
sama besarnya. Ketika salah satu seri dilempar ke bioskop, para
penggemar dengan segera berbondong-bondong menyesaki bioskop seolah itu
adalah satu-satunya hari dimana film tersebut diputar sementara ‘haters’
memenuhi linimasa dengan segala nyinyiran dan cibiran terbaik mereka
untuk seri ini. Anda tidak akan menemukan segala kehebohan ini dalam Harry Potter, The Hunger Games, apalagi The Lord of the Rings. Dan, franchise yang fenomenal ini pun telah memasuki edisi terakhirnya dalam The Twilight Saga: Breaking Dawn Part II.
Layaknya seri penutup dari penyihir remaja asal Inggris, seri penutup
dari ‘sparkling vampire’ ini pun sejatinya dibuat untuk satu film yang
kemudian diputuskan untuk dipecah menjadi dua demi memuaskan hasrat
‘fans’ yang tentunya mengharapkan perlakuan istimewa sebelum berpisah
dengan sang idola. Saya sesungguhnya cukup penasaran dengan cara Bill
Condon menutup franchise yang jilid terakhirnya ini mengusung tagline
yang terbilang berani, ‘the epic finale that will live forever’. Akankah
The Twilight Saga: Breaking Dawn Part II menjadi sebuah penutup yang epik atau malah justru anti-klimaks?
Melanjutkan
dari apa yang berakhir di jilid pertama, Bella Swan (Kristen Stewart)
telah bertransformasi menjadi vampir yang memungkinkan dia untuk
menjalani kehidupan pernikahan yang ‘happily ever after’ bersama Edward
Cullen (Robert Pattinson). Setelah ‘the never ending intercourse’ di
film sebelumnya yang sungguh melelahkan, akhirnya penonton mendapatkan
sajian konflik yang sesungguhnya di seri pamungkas ini. Putri Bella dan
Edward, Renesmee (Mackenzie Foy) mengalami pertumbuhan fisik secara
cepat dan tidak wajar. Irina (Maggie Grace), salah satu anggota dari
keluarga Denali yang melihat Renesmee kala tengah menikmati udara segar
bersama Bella dan Jacob Black (Taylor Lautner), mengira Renesmee adalah
‘anak abadi’. Mengingat ini melanggar hukum vampir yang diciptakan oleh
Volturi, maka Irina pun menghadap ke Aro (Michael Sheen) dan melaporkan
perbuatan keluarga Cullen. Mengetahui bahwa Volturi segera menyerang
Cullen berdasarkan penglihatan dari Alice (Ashley Greene), maka Carlisle
(Peter Facinelli) pun mengutus keluarganya mengumpulkan kerabat-kerabat
mereka dari seluruh dunia untuk bersaksi di depan Volturi bahwa
Renesmee bukanlah ‘anak abadi’.
Dengan mudah saya bisa mengatakan kepada Anda bahwa Breaking Dawn Part II adalah seri terbaik dari The Twilight Saga.
Memang tidak sampai dalam tahapan mengagumkan atau epik seperti yang
saya harapkan, akan tetapi Bill Condon mampu menghantarkan franchise ini
ke sebuah penutup yang layak. Dengan garis konflik yang tidak lagi
bercabang dan cenderung fokus kepada nasib Renesmee, Melissa Rosenberg
mampu menata jalinan kisah dengan lebih rapi. Bahkan, untuk sekali ini,
berani membelokkan cerita dengan suntikan ‘twist’ pada klimaks yang
terbilang cukup mencengangkan. Penonton bersorak sorai antara terkejut,
senang, atau bahkan kecewa setelah apa yang sesungguhnya terjadi
terungkap. Keberanian dalam menyuguhkan ‘twist’ dan sedikit melenceng
dari sumber asli ini menjadi kekuatan utama dari film ini. Baik Condon
maupun Rosenberg menyadari bahwa mereka tidak akan mampu menyuguhkan
penutup yang sempurna apabila tetap berpegang teguh kepada tulisan
Stephenie Meyer dan mempertontonkan kemesraan yang tiada berkesudahan.
Meski demikian, Breaking Dawn Part II
tidak lantas berakhir tanpa meninggalkan kekurangan. Produk ini masih
tetap jauh dari kata sempurna. Untuk mencapai sebuah klimaks yang
menggetarkan, penonton kudu melalui paruh awal yang... ya, Anda tahu
sendiri, sangat The Twilight Saga. Romantisme berlebihan digeber
sedemikian rupa di menit-menit awal. Beruntung dosisnya tidak setinggi
empat film pertama. Alur pun melaju dengan sangat perlahan, demi
memastikan tidak ada bagian penting yang terlewatkan untuk fans. Di
paruh ini Anda akan menyaksikan bagaimana Bella berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan wujud barunya, Charlie Swan (Billy Burke) yang
kebingungan melihat Bella, serta sedikit letupan konflik seusai Bella
mengetahui bahwa Jacob meng-‘imprint’ Renesmee. Untuk mengurangi rasa
bosan, maka humor dan sinematografi indah – walau tak sekuat bagian
pertama, dijadikan sebagai penawar. Sayangnya, hal itu tidak membantu
banyak. Kesalahan bisa dialamatkan kepada trio Kristen Stewart, Robert
Pattinson, dan Taylor Lautner yang hingga film kelima ini masih saja
tidak berkembang. Tanpa ekspresi dan tanpa chemistry. Hambar. Untungnya
dukungan dari supporting cast – khususnya Michael Sheen yang tampil
brilian sebagai Aro – sedikit banyak membantu film dari keterpurukan.
Setelah
awal yang melelahkan dan berpanjang-panjang, secara perlahan eskalasi
tensi yang diharapkan oleh penonton sejak menit pertama pun dimunculkan.
Bill Condon turut mendengarkan permintaan dari ‘non-fans’. Volturi yang
belum sempat unjuk gigi akhirnya memeroleh kesempatan untuk ‘show off’.
Breaking Dawn Part II hadir lebih gelap dari jilid sebelumnya
dengan adanya kematian, mayat-mayat bergelimpangan, kepala yang terlepas
dari tubuh, dan tentunya darah. Sebagian besar adalah hasil ‘kerja
keras’ dari Volturi. Ketegangan mencapai puncaknya setelah pertempuran
akbar antara pasukan Volturi dan pasukan Cullen dimulai. Seperti yang
telah saya sebutkan di dua paragraf sebelum ini, kehadiran ‘twist’ turut
menyelamatkan film secara keseluruhan walau efek khusus yang
memprihatinkan – terutama penggambaran ‘werewolf’ yang masih saja tidak
meyakinkan walau telah diberi suntikan dana berlimpah – cukup mengganggu
kenikmatan menonton selain chemistry hambar antara tiga pemain utama
dan romantisme yang menggelikan.
Well, pada akhirnya, apakah saya akan mengatakan bahwa The Twilight Saga: Breaking Dawn Part II
adalah sebuah penutup yang epik? Hmmm... Terlalu berlebihan jika saya
menyebutnya epik, saya cukup mengatakan bahwa ini adalah seri terbaik
dari franchise ini. Tentu saja tidak sempurna, namun yang jelas, dapat
dinikmati dan tidak membuat saya ingin menggantung diri di dalam gedung
bioskop atau mencakar muka Bella yang biasanya saya alami kala
menyaksikan The Twilight Saga. Bill Condon memang belum mampu
memerbaiki kesalahan utama franchise ini yang berkisar pada efek khusus
maupun chemistry antar pemain, akan tetapi dia telah berhasil
menyuguhkan sebuah perpisahan yang tidak memalukan dengan jalinan
penceritaan yang lebih baik, sinematografi yang cantik, dan adegan
pertarungan berbalut twist yang cukup mencengangkan. Dan jika Anda
bertanya bagaimana dengan deretan lagu yang mengisi album
soundtrack-nya? Seperti biasa, jauh mengungguli filmnya. Fans akan
keluar dari gedung bioskop dengan senyum terlebar yang pernah mereka
tunjukkan kepada dunia, pecinta film akan berdiskusi soal film ini
dengan teman atau meng-update status ‘not bad lah’, sementara haters...
will always hate.
Note : Kala credit title mulai bergulir, semua tokoh dari Twilight hingga Breaking Dawn Part II dimunculkan sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah bersedia menjadi bagian dari keluarga franchise ini.
Acceptable
Tidak ada komentar:
Posting Komentar