"Tanpa cinta kita bukan apa-apa."
The Chef, atau dalam bahasa aslinya bertajuk Comme un chef,
menjadi hidangan pembuka yang saya santap di pagelaran Festival Sinema
Prancis tahun ini yang untuk pertama kalinya setelah sekian tahun
lamanya tak menyambangi Semarang. Tidak ada sedikit pun pengharapan
terhadap film ini selain menyimak hidangan-hidangan ala restoran mewah
Prancis tertampang menggoda di layar lebar. Ya... selain film, musik,
(sedikit) olahraga, saya juga sangat menggemari dunia kuliner. Sama
sekali bukan seseorang yang dapat diandalkan kala tengah berakrobat di
dapur, akan tetapi saya sangat mencintai makanan. Nyaris setiap acara
masak memasak – baik berupa kompetisi, wisata kuliner atau hanya sekadar
acara memasak mingguan – saya tonton. Dan itulah yang menjadi motivasi
utama saat menyimak The Chef, mencari pemandangan yang sanggup
melaparkan mata sekaligus perut. Ternyata, saya tidak hanya mendapatkan
apa yang saya idamkan, namun lebih dari itu. Daniel Cohen mempersilahkan
saya untuk masuk ke restorannya yang mewah dengan pelayanan yang ramah,
makanan kelas atas bercita rasa tinggi, serta sebuah hiburan dari para
‘pelayan’ dan ‘koki’ yang menyegarkan. Anda pun dibebaskan untuk tertawa
terbahak-bahak semaunya, bebas, suka-suka. Jelas sebuah ‘restoran kelas
atas’ yang sangat cocok untuk dikunjungi siapapun yang murni mencari
hiburan pelepas penat.
Apa
yang digelar oleh Daniel Cohen dalam film teranyarnya ini adalah
pengamatan terhadap simbiosis mutualisme antara seorang chef kenamaan
dengan pecinta kuliner yang penuh mimpi. Jean Reno yang baru saja kita
saksikan aksinya dalam Alex Cross berperan sebagai Alexandre
Lagarde, salah satu chef terbaik di Prancis, yang seolah telah melupakan
tujuan awalnya dalam memasak sehingga sentuhan magisnya perlahan tapi
pasti tanpa disadarinya memudar yang membuatnya tak bisa mengeksplor
lebih dalam lagi kemampuannya. Stagnan. Bisa jadi, mungkin ini adalah
saatnya dia undur diri dari pekerjaannya sebagai chef utama di resto
bintang tiga, Cargo Lagarde? Dalam upayanya untuk mencari asisten baru,
dia berjumpa dengan Jacky Bonnot (Michael Youn), seorang pecinta kuliner
yang menyerupai Wikipedia berjalan. Setiap resep Alexandre, dia hafal
di luar kepala. Bahkan, dia tak segan menyampaikan kritik kala chef
idolanya tersebut tak patuh pada resep lama. Dengan karirnya yang tengah
di ujung tanduk, Alexandre pun merekrut Jacky sebagai asistennya
setelah melihat besarnya potensi yang dimiliki pria ini di dunia
kuliner. Akan tetapi, segalanya tidak lantas berjalan dengan mulus.
Cobaan menghadang dari seorang istri yang merasa dikhianati, seorang
putri yang merasa ditelantarkan, dan grup pemegang saham yang kehilangan
rasa kepercayaan.
Sejak memulai introduksi dua tokoh utama kepada para penonton, The Chef
telah menunjukkan tanda-tanda sebagai tontonan pengocok perut tiada
henti. Benar saja, Daniel Cohen membawa kita kepada sebuah suguhan yang
mampu menciptakan ledakan tawa tanpa henti hingga penghujung film.
Dengan dikemas secara teatrikal, segalanya makin sempurna. Memakan waktu
hanya 84 menit, film bergerak sangat cepat sehingga penonton pun tidak
terjebak dalam kebosanan dengan jalinan kisah yang terkesan
bertele-tele. Memang, pergerakan yang terlalu cepat menyebabkan
penyampaian kisah menjadi serba terbatas dan kurang tergali lebih
mendalam, akan tetapi, saya melihat bukan itu yang hendak dijadikan
fokus oleh Daniel Cohen. The Chef seolah hanya ingin menjadi
sebuah film yang dapat membuat siapapun tersenyum lebar serta meredakan
kepenatan yang menghinggapi kala keluar dari gedung bioskop. Tidak ada
tekanan atau beban untuk muncul sebagai sebuah hidangan restoran kelas
tiga yang memperoleh pujian dari kritikus yang susah untuk diajak
bersenang-senang, murni hanya demi menyenangkan penonton.
Dalam
pengisahan, sejatinya tidak ada sesuatu yang baru untuk ditawarkan di
sini. Tak banyak pula elemen kejutan yang disuntikkan ke dalam jalinan
kisah yang mudah ditebak akan bermuara ke mana. Dengan begini, maka
kunci keberhasilan bertumpu pada pengarahan sutradara, jajaran pemain,
serta tentunya efektivitas guyonan yang digulirkan. Beruntung, Cohen
mendapat pemain sekelas Jean Reno dan Michael Youn yang mampu bersinergi
satu sama lain dalam menerjemahkan skrip garapan sang sutradara
sehingga segala bentuk lawakan tak terperosok ke dalam slapstick yang
kasar, garing, atau tolol, melainkan justru menyegarkan. Di samping
bentuk candaan yang berhasil membuat perut kram, pemandangan
makanan-makanan mewah yang bertebaran – kecuali untuk bagian molecular
gastronomy – sanggup menyebabkan perut berdendang. Ingin sekali
mencicipinya. Pesan positif nan klise seputar jangan pernah menyerah
terhadap mimpimu seperti yang diperlihatkan oleh tokoh bernama Jacky
Bonnot yang jatuh bangun membangun karir serta menerima serangkaian
penolakan lantaran tak mampu menyesuaikan menu dengan selera konsumen,
berhasil dihaturkan oleh Cohen tanpa kesan menceramahi.
Pada akhirnya, The Chef atau Comme un chef
ini rupanya tak sedatar yang saya duga. Mungkin dari segi penceritaan
tak ada segala sesuatu yang baru, akan tetapi jika mengamatinya dari
selera humor Daniel Cohen, maka menyimak The Chef bagaikan tengah menyantap hidangan molecular gastronomy. Penampilan luar yang menipu. Tak akan menduga bahwa The Chef
sanggup tampil sebagai sebuah sajian berbintang 3 (dalam dunia kuliner)
yang lezat, segar, jenaka, cerdas, sekaligus menyenangkan. Kepuasan
konsumen pun berhasil didapatkan.
Exceeds Expectations
Tidak ada komentar:
Posting Komentar