"To love another person is to see the face of God." - Jean Valjean
Satu hal yang ingin saya sampaikan sebelum Anda memutuskan untuk menukar Rupiah dengan selembar tiket bioskop demi menyaksikan Les Miserables,
apa yang hendak Anda simak adalah sebuah film musikal.
Bukan musikal
biasa dimana beberapa tokoh yang semula beradu dialog tiba-tiba tanpa
diberi komando mendendangkan sebuah tembang seraya menggoyangkan tubuh
bersama sejumlah penari latar. Bukan. Sang sutradara yang baru saja
menggondol Oscar melalui The King’s Speech,
Tom Hooper, membawanya ke ranah musikal murni. Itu artinya, nyaris
seluruh dialog dalam film dituturkan kepada audiens dalam bentuk
nyanyian. Apabila Anda antipati terhadap genre ini, maka menikmati Les Miserables
di layar lebar bisa jadi merupakan sebuah siksaan. Sebaliknya, jika
Anda tergolong penonton yang menggemari tontonan musikal atau terbuka
terhadap semua genre, maka Les Miserables merupakan sebuah film
yang keindahannya sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Saking luar
biasanya – Oh, Anda boleh mengatakan saya adalah reviewer terlebay
sedunia, haha – saya bahkan memberikan sedikit tepuk tangan usai
menyimak film ini. Tidak bisa secara meriah lantaran ya... menghormati
penonton di sekitar saya yang sepertinya tertipu.
Les Miserables
beranjak dari sebuah novel Sastra Prancis klasik karangan Victor Hugo
yang pertama kali terbit pada 1862. Semenjak itu, berbagai versi
adaptasi menyertainya, baik itu film panjang, miniseri, pertunjukkan
musikal, maupun drama radio. Ketika versi lainnya mengacu kepada novel
dengan kesetiaan penuh maupun rombak sana sini demi penyesuaian, maka
Tom Hooper justru berpijak kepada pertunjukkan musikalnya yang telah
berkali-kali dipentaskan sejak dekade 80-an sehingga menyandang gelar
‘one of the longest running musicals ever’. Alih-alih menyesuaikan
dengan format barunya, Hooper justru tetap patuh kepada ‘musical
play’-nya dengan alasan lebih efektif dalam bertutur. Bahkan demi
mempertahankan cita rasa otentik, sang penulis skrip, William Nicholson,
turut ditemani oleh tiga penulis dari versi musikalnya, Alan Boubil,
Claude-Michel Schonberg, dan Herbert Kretzmer. Maka, dengan keputusan
untuk setia sepenuhnya terhadap pertunjukkan musikalnya, seperti yang
telah saya jabarkan di paragraf pembuka, dialog dalam film pun menganut
‘sung-through’ sesuai dengan sumber pijakannya.
Yang
menjadi tokoh utama di sini adalah Jean Valjean (Hugh Jackman) yang
baru saja mengakhiri masa tahanannya selama 19 tahun setelah kedapatan
mencuri sepotong roti demi memberi makan keponakannya. Usai mencium
udara kebebasan, Jean Valjean tak sepenuhnya lepas dari tanggungan. Dia
kudu lapor kepada polisi pengawas, Javert (Russell Crowe), secara
berkala. Pertemuan Valjean dengan seorang uskup (Colm Wilkinson) membuat
dia mangkir dari kewajibannya, menghilang, dan memutuskan untuk memulai
kehidupan baru. 8 tahun berselang, Valjean yang telah mengubah
identitas dirinya hidup tentram di sebuah daerah kecil di Prancis,
menjadi walikota, dan memiliki sebuah pabrik. Ketenangannya terusik
ketika Javert menampakkan diri di hadapannya. Masa lalunya yang kelam
kembali memburunya. Ketika seorang gelandangan mengaku sebagai dirinya,
perasaan bersalah Valjean menyeruak sehingga dia pun membongkar
identitas aslinya. Resiko yang kudu ditanggung, Javert berambisi untuk
meringkusnya dan Valjean pun menghabiskan sisa hidupnya dalam pelarian.
Sementara itu, kita pun berkenalan dengan Fantine (Anne Hathaway), salah
satu pekerja di pabrik Valjean, yang beralih profesi sebagai pelacur
jalanan demi mengirim uang untuk biaya hidup putrinya, Cosette (Isabelle
Allen). Fantine tidak berhasil bertahan setelah mengalami penyiksaan
dari seorang pria. Meninggalnya Fantine membuat Valjean merasa
bertanggung jawab dan memutuskan untuk merawat Cosette dalam pelarian
hingga tumbuh sebagai gadis cantik (Amanda Seyfried).
Pada
awalnya, membayangkan duduk di dalam gedung bioskop selama 158 menit
demi menyaksikan sebuah film yang nyaris seluruhnya dilagukan terasa
melelahkan. Akan tetapi setelah saya menjajalnya langsung, ternyata
ketakutan itu tak terbukti. Tom Hooper berhasil memaparkan skrip garapan
empat penulis secara keroyokan dengan sangat baik. Dengan durasi yang
memanjang hingga hampir mencapai 3 jam, tidak sekalipun saya menemukan
momen yang menjemukan. Jalinan kisahnya dirajut dengan sangat cantik dan
sempurna sehingga sanggup membuat penonton tetap betah untuk mencari
tahu apa yang akan terjadi berikutnya, tokoh mana yang akan menemukan
pembebasannya, dan tokoh mana yang akan mengakhiri jalannya dengan
tragis. Memang, kisah ini telah berulang kali diceritakan ulang dengan
berbagai cara penyampaian, namun dengan keputusan Hooper untuk
menyajikannya dalam bentuk musikal utuh membuat Les Miserables
serasa diberi suntikkan nyawa baru yang menjadikannya tetap menarik
untuk diikuti terlebih dengan dukungan jajaran pemainnya yang bermain
mempesona, khususnya Hugh Jackman dan Anne Hathaway. Mereka berdua
sukses menyeimbangkan kemampuan olah vokal dengan berakting dengan rapi,
penuh penghayatan, memberikan banyak energi serta emosi. Saya sama
sekali tidak akan terkejut jika bulan depan juri Oscar memutuskan untuk
memenangkan Hathaway di kategori ‘Best Supporting Actress’. Jika
Jennifer Hudson saja mampu membuat juri terpukau melalui Dreamgirls,
kenapa Hathaway tidak? I Dreamed a Dream jelas sebuah ‘showstopper’.
Rendisinya terhadap lagu ini sungguh mempesona. Saya dibuat merinding
disko kala menyaksikannya.
Ya...
barisan track yang terkandung di dalam film ini memang merupakan
amunisi utama terlebih dengan absennya dialog konvensional. Kemasan
musikalitasnya mungkin tak sempurna dan terdengar kasar lantaran
diterapkan ‘live recording’ alih-alih lipsync, akan tetapi di bawah
penanganan Hooper, kelemahan ini mampu hadir sebagai kekuatan. Dengan
cara ini, emosi yang hendak diutarakan oleh pemain dapat lebih mengena
dan membekas. I Dreamed a Dream boleh jadi merupakan yang paling memukau
diantara lagu lainnya, akan tetapi sekitar 40 lagu lain yang hadir pun
tetap kuat, termasuk satu lagu asli yang khusus diciptakan untuk film
ini berjudul Suddenly. Seluruh emosi, baik cinta, kecewa, marah, lelah,
hingga putus asa dituangkan ke dalam gelaran lagu yang menghiasi
sepanjang film. Bulu kuduk ini seketika berdiri mendengarkan setiap
tembang yang dibawakan dengan penuh penghayatan sekaligus emosi. Ini
adalah pertama kalinya saya benar-benar larut ke dalam setiap lagu yang
hadir di sebuah film musikal. Keputusan untuk memanfaatkan
‘sung-through’ dan ‘live recording’ memang penuh resiko, namun hasil
yang didapat sangat sepadan.
Melongok ke sisi teknis, Les Miserables
pun tergarap detil. Tata produksinya sangat luar biasa, menciptakan
kesan megah serta kolosal. Sinematografi arahan peraih nominasi Oscar,
Danny Cohen, berpadu dengan sempurna bersama tata artistiknya, tata
kostum, hingga tata rias. Perpindahan latar tempat dan waktu serta
perubahan fisik tiap tokohnya dilukiskan dengan apik nan believable.
Film ini pun pada akhirnya tidak hanya memanjakan telinga para
penikmatnya, tetapi juga mata dari setiap penonton dengan melihat
bidikan gambar yang tertata cantik. Kecermatan departemen artistik dalam
menata set membuat penonton percaya bahwa apa yang tersaji di layar
adalah Prancis di tahun 1800-an. Tata kostum tidak perlu diragukan lagi
untuk sebuah costume drama semacam ini, tampil mengagumkan. Sementara
untuk tata riasnya yang dikomandoi langsung oleh Lisa Westcott,
setidaknya patut mendapat pujian dalam usahanya memermak wajah Hugh
Jackman yang bertransformasi dari seorang tahanan dengan penampilan yang
kucel dan berantakan menjadi bagian dari kalangan terhormat dengan
dandanan yang rapi hingga Valjean di usia tua.
Keputusan
Tom Hooper untuk tetap mempertahankan cita rasa asli pertunjukkan
musikalnya di dalam film besutannya ini memang beresiko memecah belah
penonton, sebagian akan dibuat kagum dengan kemampuannya menelurkan
sebuah pengalaman sinematis yang berbeda sementara sebagian lain akan
sangat membencinya. Akan tetapi, apapun pendapat yang diutarakan oleh
penonton usai menyimak sajiannya yang fenomenal ini, Tom Hooper telah
berhasil menyajikan sebuah hidangan yang unik, berbeda, penuh cita rasa,
hangat, menakjubkan, sekaligus sangat cantik. Ini akan menjadi sebuah
film yang akan sulit Anda lupakan hingga bertahun-tahun ke depan. Les Miserables
adalah pencapaian terbaiknya dalam dunia sinematik. Memindahkan sebuah
pertunjukkan musikal yang telah memperoleh status klasik ke medium yang
berbeda, dalam hal ini film panjang berdurasi 2 jam 38 menit, bukanlah
perkara mudah dan dia sanggup menjalankannya seolah tidak ada kesulitan
berarti yang dihadapinya. Dengan jajaran pemain yang mempertontonkan
kemampuan olah peran dan olah vokal yang mengagumkan, tata produksi
berskala kolosal yang tergarap detil, dan deretan tembang yang dibawakan
dengan penuh cinta, maka layaklah sudah Les Miserables dinobatkan sebagai salah satu film musikal terbaik yang pernah ada.
Outstanding
Tidak ada komentar:
Posting Komentar