"The world is not in your book and maps. It's out there!" - Gandalf
Sebenarnya,
ini terdengar tak masuk akal dan sangat dipaksakan. Novel The Hobbit
rekaan J.R.R. Tolkien yang hanya terdiri dari kurang lebih 300 halaman
dituangkan ke dalam tiga film? Oh, ini pasti sebuah lelucon. Akan
tetapi, sayangnya (atau malah justru untungnya?) inilah kenyataan yang
ada. Well... money talks! Apapun dalih yang dikemukakan oleh Peter
Jackson atau pihak studio, satu hal yang pasti adalah trilogi ini hadir
karena alasan finansial. Siapa yang tidak tergoda untuk mengulang
kesuksesan The Lord of the Rings (TLOTR)? Ini jelas adalah sebuah
kesempatan yang tepat untuk kembali mencapai masa kejayaan. New Line
Cinema enggan untuk setengah-setengah memerlakukan film adaptasi novel
yang lahir dari tangan dingin salah satu sastrawan Inggris terbaik ini
terlebih setelah serangkaian peristiwa yang menyebabkan proses produksi The Hobbit
jalan di tempat dan baru terealisasi nyaris satu dekade kemudian.
Keputusan membawa kembali Peter Jackson untuk menggawangi film usai
ditinggal Guillermo del Toro tidak bisa lebih tepat lagi. Di bawah
penanganan Om Jackson, The Hobbit: An Unexpected Journey menjelma menjadi sebuah kado akhir tahun yang rupawan dan menghibur.
Menurut Anda, apa yang istimewa dari seorang hobbit bernama Bilbo Baggins (Martin Freeman)? Hmmm... nyaris tidak ada jika saya bilang. Ketimbang mencium udara segar Middle-earth dengan berkelana dari satu tempat ke tempat lain demi mencari pengalaman hidup, Bilbo lebih memilih untuk duduk manis di Bag End seraya menyeruput minuman hangat dan menggigit kue manis. Baginya, inilah cara untuk merayakan kehidupan. Terima kasih kepada Gandalf the Grey (Ian McKellen) yang telah menyeret Bilbo keluar dari zona nyamannya. Tanpa ada perjalanan melintasi Middle-earth, maka bisa jadi Frodo pun akan terjebak dalam ‘live boringly ever after’ bersama sang paman. Mengambil setting waktu 60 tahun sebelum TLOTR, jilid pertama dari trilogi The Hobbit ini akan membawa penonton turut serta dalam petualangan Bilbo menemani 13 dwarf dalam usaha mereka untuk merebut kembali Lonely Mountain dari cengkraman Smaug, seekor naga jahat. Selama perjalanan, rombongan ini berjumpa dengan elf, troll, dan goblin yang sedikit banyak menghambat laju serta mengancam nyawa.
Menurut Anda, apa yang istimewa dari seorang hobbit bernama Bilbo Baggins (Martin Freeman)? Hmmm... nyaris tidak ada jika saya bilang. Ketimbang mencium udara segar Middle-earth dengan berkelana dari satu tempat ke tempat lain demi mencari pengalaman hidup, Bilbo lebih memilih untuk duduk manis di Bag End seraya menyeruput minuman hangat dan menggigit kue manis. Baginya, inilah cara untuk merayakan kehidupan. Terima kasih kepada Gandalf the Grey (Ian McKellen) yang telah menyeret Bilbo keluar dari zona nyamannya. Tanpa ada perjalanan melintasi Middle-earth, maka bisa jadi Frodo pun akan terjebak dalam ‘live boringly ever after’ bersama sang paman. Mengambil setting waktu 60 tahun sebelum TLOTR, jilid pertama dari trilogi The Hobbit ini akan membawa penonton turut serta dalam petualangan Bilbo menemani 13 dwarf dalam usaha mereka untuk merebut kembali Lonely Mountain dari cengkraman Smaug, seekor naga jahat. Selama perjalanan, rombongan ini berjumpa dengan elf, troll, dan goblin yang sedikit banyak menghambat laju serta mengancam nyawa.
Peter Jackson sama sekali belum kehilangan sentuhan emasnya kala kembali duduk di bangku sutradara untuk mengomandoi The Hobbit: An Unexpected Journey (AUJ).
Gerbang menuju Middle-earth dibuka lebar-lebar dan kita pun kembali
diajak untuk mengikuti tur setelah terakhir kali mengagumi keindahan
alam dunia para hobbit, elf, dwarf, troll, hingga goblin ini sembilan
tahun silam. Sisi visualnya tetap luar biasa, bahkan lebih indah dari
sebelumnya. Apabila Anda tidak terlalu bersemangat dengan alur yang
digulirkan, setidaknya mata masih bisa dimanjakan dengan
pemandangan-pemandangan indah. Layaknya trilogi TLOTR, favorit
saya di sini adalah Rivendell dimana kawanan berjumpa dengan Elrond
(Hugo Weaving) dan Galadriel (Cate Blanchett). Berkat kemajuan teknologi
serta kucuran dana yang besar, tim efek khusus yang masih ditangani
oleh Weta Digital sanggup mengkreasikan setiap lokasi dan makhluk di
Middle-earth dengan lebih apik ketimbang apa yang telah mereka hasilkan
di trilogi TLOTR. Bahkan, Gollum (Andy Serkis) pun tampil lebih
detil dan menyeramkan di sini. Menyaksikannya dalam IMAX 3D adalah
pilihan yang terbaik, terlebih di beberapa bagian kedalaman dan
popped-up 3D-nya sangat terasa.
Well... The Hobbit
yang sejatinya menyasar anak-anak sebagai target utama pembaca tidak
memiliki jalinan penceritaan sepanjang dan sekompleks ‘sang adik’.
Dibutuhkan tim penata skrip yang solid demi menghindari pengisahan yang
bertele-tele dan menjemukan. Setidaknya kinerja mereka bisa dibilang
cukup sukses untuk jilid pembuka ini. Fran Walsh, Philippa Boyens, Peter
Jackson, serta Guillermo del Toro yang bertanggung jawab dalam urusan
menumpahkan puluhan ribu kata milik Tolkien ke dalam bentuk naskah
sanggup menerjemahkan setiap detil yang dibutuhkan dengan baik. The Hobbit: AUJ
dimulai secara mengasyikkan dengan sebuah pengenalan para karakter
utama dalam sebuah jamuan makan malam yang penuh kekacauan di gubuk
Bilbo. Ketika perjalanan dimulai, grafik cenderung tidak stabil, naik
dan turun. Sesuatu yang mau tak mau kudu dimaklumi mengingat ini
beranjak dari novel untuk anak-anak yang mana tidak terlalu banyak
menjanjikan konflik serta membawa suasana dengan riang alih-alih suram.
Beruntung akting gemilang dari Martin Freeman dan Ian McKellen yang
eksentrik, kocak, dan senantiasa memberi keriangan sanggup menghindarkan
film dari titik jenuh yang teramat sangat. Segalanya mulai menarik
diikuti ketika rombongan terjebak dalam pertarungan ‘stone giants’,
berhadapan dengan para Goblin di ‘Goblin’s Lair’, dan Bilbo terperosok
ke dalam gua yang memisahkannya dari kawanan serta memertemukannya
dengan Gollum. ‘Riddles in the Dark’ adalah bagian terbaik dari The Hobbit: An Unexpected Journey.
Jadi, apakah The Hobbit: An Unexpected Journey mampu mengulang kegemilangan trilogi The Lord of the Rings? Untuk saat ini terlalu cepat untuk menyandingkannya mengingat The Hobbit baru menelurkan satu jilid saja, namun jika berpatokan pada The Fellowship of the Ring, An Unexpected Journey
sama sekali tidak mengecewakan. Ini adalah sebuah hiburan yang
menyenangkan. Memang, ada beberapa momen datar yang dapat menyebabkan
penonton menguap lebar-lebar (atau malah tertidur), terutama di awal dan
pertengahan film, akan tetapi segalanya terbayarkan dengan lunas
melalui klimaks yang mengagumkan. Dimulai dari pertarungan ‘stone
giants’ hingga credit title bergulir diiringi ‘Song of the Lonely
Mountain’ merupakan saat-saat yang mengangkat film setelah sebelumnya
nyaris terperosok ke dalam ‘jurang membosankan’. Pada akhirnya, saya
akan mengatakan bahwa Peter Jackson telah mencurahkan segala
kemampuannya untuk menyajikan The Hobbit: An Unexpected Journey
secara layak kepada khalayak ramai. Bukan hidangan yang akan membuat
saya mengucap, “Subhanallah, ini berasa di surga”, namun hidangan yang
cukup membuat saya berkata, “ini enak.” Bagaimanapun, pengalaman
sinematis yang disuguhkan tetaplah menakjubkan.
Exceeds Expectations
Tidak ada komentar:
Posting Komentar